Pertanian Indonesia di tahun 2006 masih tetap
menghadapi persoalan-persoalan klasik. Kelangkaan pupuk menjelang masa tanam,
kekeringan di saat kemarau, kebanjiran di musim hujan, harga anjlok ketika
panen, mencekik saat paceklik, serta konversi lahan yang kian tak terbendung.
Jika kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir, hama, dan penyakit dampaknya
terhadap produksi pertanian, terutama padi, tidak bersifat permanen, dampak
berkurangnya lahan pertanian karena konversi akan bersifat permanen terhadap
turunnya produksi. Sekali lahan pertanian, terutama sawah, beralih fungsi,
mustahil kembali lagi menjadi sawah. Kekhawatiran terhadap kelangkaan pupuk dan
anjloknya harga beras selalu disuarakan dengan lantang oleh para wakil rakyat
karena khawatir produksi pangan nasional merosot. Anehnya, soal konversi lahan
nyaris tidak pernah mendapat perhatian. Jangankan ”suara lantang”, yang
sayup-sayup pun hampir tak terdengar. Padahal, dampaknya jelas dan permanen
terhadap produksi pangan nasional.
Pertanian Indonesia di tahun 2006 masih tetap
menghadapi persoalan-persoalan klasik. Kelangkaan pupuk menjelang masa tanam,
kekeringan di saat kemarau, kebanjiran di musim hujan, harga anjlok ketika
panen, mencekik saat paceklik, serta konversi lahan yang kian tak terbendung. Jika
kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir, hama, dan penyakit dampaknya terhadap
produksi pertanian, terutama padi, tidak bersifat permanen, dampak berkurangnya
lahan pertanian karena konversi akan bersifat permanen terhadap turunnya
produksi. Sekali lahan pertanian, terutama sawah, beralih fungsi, mustahil
kembali lagi menjadi sawah. Kekhawatiran terhadap kelangkaan pupuk dan
anjloknya harga beras selalu disuarakan dengan lantang oleh para wakil rakyat
karena khawatir produksi pangan nasional merosot. Anehnya, soal konversi lahan
nyaris tidak pernah mendapat perhatian. Jangankan ”suara lantang”, yang
sayup-sayup pun hampir tak terdengar. Padahal, dampaknya jelas dan permanen
terhadap produksi pangan nasional.
Kebutuhan pangan terus naik dari tahun ke tahun.
Tahun 2020 diperkirakan perlu 9,3 juta hektar sawah untuk mencukupi kebutuhan
beras nasional. Saat ini luas sawah hanya 8,11 juta hektar, 45 persen di
antaranya ada di Jawa dan Bali. Dari tahun ke tahun bukan perluasan yang
terjadi, tetapi justru luas sawah kian menyusut (tabel: Neraca Lahan Sawah di
Indonesia).
a. Kerugian
investasi
Konversi lahan tidak hanya berpengaruh terhadap
produksi pangan, tetapi juga hilangnya investasi untuk membangun irigasi dan
prasarana lainnya. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto dari Pusat Studi
Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), nilai investasi per hektar sawah
tahun 2000 lebih dari Rp 25 juta dan tahun 2004 mencapai Rp 42 juta per hektar.
Jika biaya pemeliharaan sistem irigasi dan pengembangan kelembagaan pendukung
juga diperhitungkan, investasi untuk mengembangkan ekosistem sawah akan
mencapai lima kali lipat dari angka tersebut. Belum lagi kerugian ekologis bagi
sawah di sekitarnya akibat alih fungsi sebagian lahan, antara lain hilangnya
hamparan efektif untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu
mengurangi banjir. Kerugian itu masih bertambah dengan hilangnya kesempatan
kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi, dan
sektor- sektor pedesaan lainnya. Sektor pertanian, terutama padi, merupakan
sektor yang paling banyak menyediakan lapangan kerja.
Pendapatan kotor usaha tani padi sekitar Rp 5,2 juta
per hektar per musim. Sementara biaya produksi per hektar per musim Rp 2,3
juta, sekitar 45 persen untuk ongkos tenaga kerja. Dengan alih fungsi, berarti
petani kehilangan peluang pendapatan Rp 2,9 juta per hektar per musim, dan
buruh tani kehilangan Rp 1,05 juta per musim.
Bagi pemilik lahan, mengonversi lahan pertanian
untuk kepentingan nonpertanian saat ini memang lebih menguntungkan. Secara
ekonomis, lahan pertanian, terutama sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya
berada di lokasi yang berkembang.
Riman (65), misalnya, rela mengubah kebunnya menjadi
petak-petak kontrakan daripada tetap menanam palawija. Alasannya, dengan tiga
petak rumah yang dibangun di atas tanah 150 meter persegi, setiap bulan dia
memperoleh dari kontrakan rumah sekitar Rp 750.000.”Sementara kalau saya tanami
mentimun, paling dapat sekarung, harganya cuma Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Itu
pun masih harus menunggu 40 hari dan harus mikir beli urea, bibit, dan tenaga
yang dikeluarkan,” ujar warga Kampung Pondok Serut, Desa Pakujaya-Serpong,
Tangerang, yang lahannya terkepung tembok real estate itu. Namun, bagi petani
penggarap dan buruh tani, konversi lahan menjadi ”bencana” karena mereka tidak
serta-merta bisa beralih pekerjaan. Mereka terjebak pada kian sempitnya
kesempatan kerja. Bakal muncul masalah sosial yang pelik.
Penelitian Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto
memperkuat hal ini, yaitu jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan
pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya
cenderung progresif. Karena, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan dan
industri, akses ke lokasi tersebut akan semakin baik. Ini mendorong naiknya
permintaan lahan oleh investor lain, atau spekulan tanah, sehingga harganya
semakin tinggi, membuat petani pemilik lahan lain menjual lahannya.
b. Paradigma
Baru Pertanian
Menurut Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Pascasarjana IPB MT Felix Sitorus, alih fungsi lahan pertanian untuk
kepentingan nonpertanian terkait paradigma pertanahan penguasa. Di era
kolonialisme Inggris (1811-1816), paradigmanya adalah tanah untuk negara, semua
tanah milik raja atau pemerintah, petani wajib membayar pajak dua per lima dari
hasil tanah garapannya. Masa tanam paksa (1830-1870), paradigmanya tetap tanah
untuk negara, pemerintah menjadi pemilik tanah, dan kepala desa meminjam tanah
itu, selanjutnya dipinjamkan kepada petani. Petani tidak membayar pajak, tetapi
seperlima dari tanahnya harus ditanami komoditas tertentu yang hasilnya
diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Paradigma bergeser pada era kapitalisme
kolonialisme (1870-1900), yaitu tanah untuk negara dan swasta, pemerintah
memberikan hak erpacht 75 tahun kepada pemodal.
Di era pemerintahan Presiden Soekarno, paradigma
diubah menjadi tanah untuk rakyat dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) Tahun 1960, yang diikuti landreform (1963-1965) soal penetapan luas tanah
pertanian. ”Tetapi hanya sebentar, belum terimplementasi dengan baik.
Pemerintahan Soeharto mengembalikan paradigma, yaitu tanah untuk negara dan
swasta, dan itu berlangsung sampai kini, apalagi adanya Perpres No 36/2005,”
kata Felix.
Krisis paradigma pertanahan yang berlangsung lama di
Indonesia terlihat setidaknya dari banyaknya kasus sengketa tanah antara rakyat
dan pemerintah atau pengusaha. Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2002 mencatat
ada 1.920 kasus sengketa tanah, yang melibatkan 1.284.557 keluarga dengan luas
lahan 10,512 juta hektar.
”Oleh
karena itu, sebelum ditetapkan keputusan menyediakan lahan abadi pertanian
seluas 15 juta hektar, harus jelas dulu itu untuk siapa, apakah tanah pertanian
abadi untuk negara, swasta, atau petani. Selama paradigmanya masih tanah untuk
negara dan swasta, konversi lahan masih tetap akan terjadi. Sementara bagi
petani, bertani bukan sekadar untuk alasan ekonomi, tetapi bagian dari
pandangan hidupnya,” ujar Felix. Setidaknya telah ada sembilan peraturan, mulai
dari keputusan presiden, peraturan Menteri Dalam Negeri, peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, hingga surat Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengendalikan konversi lahan pertanian
ke nonpertanian. Semua itu tidak efektif menghentikan konversi. Persoalan ini
tidak cukup hanya dihadapi dengan peraturan perundang-undangan karena
masalahnya bukan hanya persoalan kebutuhan sektor lain akan lahan, tetapi
menyangkut kesejahteraan petani, kepentingan keuangan pemerintah daerah, para
pengejar rente, serta kebijakan dasar perekonomian yang ingin dibangun.
Diperlukan komitmen yang kuat untuk mencegah
terjadinya konversi lahan pertanian, yang diwujudkan pada visi baru dalam
kebijakan yang dilaksanakan. Keberpihakan pada kesejahteraan petani,
kepentingan menjaga ketahanan pangan nasional, serta menjaga kelestarian
lingkungan harus dinyatakan dengan jelas.Menjadikan sektor pertanian sebagai
lapangan usaha yang menarik dan bergengsi secara alami dapat mencegah
terjadinya konversi lahan. Jika konversi terus terjadi tanpa terkendali, hal
itu tidak saja melahirkan persoalan ketahanan pangan, tetapi juga lingkungan
dan ketenagakerjaan.
Diambil
dari : KOMPAS-Bisnis dan Keuangan- "Akutnya Konversi Lahan Pertanian"
Source
: http://boskhamim.wordpress.com
Diposkan Oleh: Dita Febrian Sari (13692)