Sunday, September 20, 2015

Kemandirian Petani Lewat Pertanian Berkelanjutan

“Pertanian berkelanjutan pada prinsipnya pengelolaan lahan dilakukan secara organik. Itu tugas kita  yang bergelut bidang pertanian menggunakan lahan sebijak mungkin” terang Ririn sebagai pengurus kelompok tani Maju Jaya Desa Rowosari, Sumberjambe, Jember.  Rowoasari merupakan desa terpencil didaerah lereng gunung Raung sekitar 35 km dari kampus Universitas Jember. Desa Rowosari Sumberjambe, terkenal dengan produk beras merah organik yang dihasilkan. Pemasaran produk mereka merambah kota-kota besar seperti Surabaya dan Bali.

Pada minggu (30/11) mahasiswa Fakultas Pertanian berksempatan mengunjungi desa Sumberjambe. Dalam kunjungan lapang tersebut bertujuan untuk mengetahui langsung praktik pertanian berkelajutan (sustainable agiculture). Mahasiswa disambut jajaran pengurus kelompok tani organik secara hangat. Dengan disuguhi olahan pangan lokal berupa singkong goreng. Kegiatan yang dilakukan berupa pemaparan materi dilanjutkan peninjauan tanaman padi dipersawahan. Meskipun kondisi hujan tidak menyurutkan antusias mahasiswa dalam mengikuti kegiatan.“Dengan kegiatan ini saya rasa mampu memotivasi mahasiswa. Mahasiswa tidak hanya mengenal pertanian berkelanjutan lewat literatur, namun dapat mempelajarinya dilapang” ujar Febri.

Pemilihan lokasi pertanian organik di Sumberjambe melalui pertimbangan beberapa hal. Kondisi topografi serta sumber air yang belum tercemar dirasa cocok untuk praktik pertanian berkelanjutan. “ Kondisi disini 40% masih berupa hutan sehingga ekosistem masih terjaga alami” tambah Ririn. Menurut pengakuanya sumber bahan organik didaerah tersebut melimpah. Rata-rata petani memiliki ternak sendiri untuk memenuhi bahan organik.

“Petanian organik di Rowosari bermula pengenalan sistem tanam SRI pada 2008 silam” terang Rudiyanto sebagai ketua gapoktan. Pada awal pengenalan sistem bertani organik respon masyarakat sekitar masih rendah.  Kecenderungan hasil sistem organik rendah menjadi penyebab utama. Namun ketika melihat harga jual yang tinggi lambat laun para petani mulai tertarik.  “Pada 2010 kita memiliki keinginan untuk mendapat sertifkat organik sebagai syarat untuk menjual produk berlabel organik” lanjut Rudi.

Rudi mengaku keberhasilan kelompok tani Maju Jaya tidak diperoleh secara instan. Saat sertifikasi tahun 2010 gagal memperoleh sertifikat organik. Dikarenakan masih banyak anggota yang tidak mematuhi aturan. Kepungurusan yang kurang koordinasi serta pengawaasan internal pada anggota masih lemah. “Dahulu kita bernaung JSM organik yang beranggotakan tiga kelompok tani namun akhirnya gagal”.

Perbaikan dimulai 2011 dengan pendataan ulang anggota. Akhirnya pada 2012 memperoleh sertifikat organik dari LESOS Mojokerto. Hingga sekarang total lahan yang bersertifikat organik seluas 27 ha. “Kita waktu itu melakukan pendataan ulang dan kontrak ulang serta membuat SOP penanaman, penggilingan, pengemasan sebagai perbaikan” lanjut Rudi.

Rudi mengaku pertama kali panen 3 ton/ha pada tahun kedua 4 ton/ha dan sekarang 6 ton/ha. Penurunan hasil panen yang sangat banyak tersebut menjadikan petani pemula enggan meneruskan pertanian organik. Rudi mengklaim dengan perkembangan metode pengurangan hasil panen dapat disiasati dengan pengurangan input kimia secara bertahap.” Kalau langsung dipotong maka banyak orang yang kaget akibat turunya hasil. Kita siasati dengan cara bertahap. Pertanian konvensional makin lama makin turun, tetapi dipertanian yang kita lakukan makin lama hasil makin meningkat” terang Rudi.

Penekanan pertanian organik pada pegolahan lahan dengan mempertahankan kesuburan alami. Penambahan unsur hara pada lahan pertanian menggunakan kotoran sapi yang difementasi. Pengendalian hama menggunakan pestisida nabati dari bahan sekitar. Serta penggunaan MOL (Mikro Organisme Lokal ) sebagai bahan mempercepat pengomposan dan pembuatan pupuk cair.“ Lahan kita saat ini bisa dikatakan mendekati kritis. Perlu penambahan bahan organik sebanyak-banyaknya. Saya mempersilahkan setiap orang untuk membuang kotoran sapinya ke lahan saya” ujar Ririn.

Kelompok tani maju jaya sampai saat ini telah mengembangkan produk ornganiknya.  Produk yang diahasilkan tidak hanya padi saja. mereka menanam sayur, buah dan aren yang dibudidayakan secara organik.


Diposkan oleh : Endra Eka Purnanto (13924)

Jateng Dorong Pemanfaatan Lahan Perhutani untuk Pertanian


Pewarta: Wisnu Adhi Nugroho

Ilustrasi - Seorang petani merontokkan padi dengan "rontogan", alat mekanisasi pertanian sederhana yang digerakkan dengan tangan, saat panen raya padi. FOTO ANTARA/Andika Wahyu/ss/ama/08.
Banyumas, Antara Jateng - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terus berupaya mendorong pemanfaatan lahan milik Perum Perhutani agar bisa dijadikan sebagai lahan pertanian bagi para petani guna mewujudkan kedaulatan pangan.
"Simbiosis mutualisme seperti ini diharapkan bisa terus dilakukan dan kami akan mendorong dalam pemanfaatan serta pengintensifan lahan-lahan milik Perhutani," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Banyumas, Kamis.
Hal tersebut disampaikan Ganjar saat melakukan panen raya varietas padi jenis Inpago 5 di Desa Pakuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, yang menggunakan "integrated farming system" di lahan seluas 50 hektare milik Perum Perhutani.
"Integrated farming system" merupakan program sinergi antara Pemprov Jateng, Perum Perhutani, dan Universitas Gadjah Mada dalam rangka mendorong serta mendukung terwujudnya program kedaulatan pangan di Jateng melalui penerapan sistem pertanian terpadu di dalam kawasan hutan dan sekitar hutan.
Menurut Ganjar, jika "integrated farming system" ini dapat diintegrasikan di seluruh daerah maka akan banyak lahan Perum Perhutani yang bisa difungsikan untuk bercocok tanam.
"Dalam penerapan sistem pertanian ini, secara ilmu pengetahuan dan pengadaan lahan sudah siap semua," ujarnya didampingi Direktur Utama Perum Perhutani Mustoha Iskandar.
Ganjar mengungkapkan bahwa hasil panen padi yang menggunakan "integrated farming system" dengan sistem pengairan tadah hujan ini dapat mencapai 5-6 ton per hektare, sedangkan sebelumnya hanya sekitar 3 ton/hektare.
Dalam kesempatan tersebut, Ganjar berpesan agar para petani ikut menjaga dan tidak merusak tanaman milik Perum Perhutani di sekitar lahan yang digunakan untuk menanam padi.
Sebelum meninggalkan lokasi panen raya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Direktur Perum Perhutani Mustoha Iskandar, dan perwakilan dari Universitas Gadjah Mada menjanjikan bantuan berupa 50 ekor kambing untuk para petani setempat.

Editor: Mahmudah


Diposkan Oleh : Intan Lusiana Dewi (13740)

Mempersiapkan Lahan Abadi Untuk Pertanian

Pertanian Indonesia di tahun 2006 masih tetap menghadapi persoalan-persoalan klasik. Kelangkaan pupuk menjelang masa tanam, kekeringan di saat kemarau, kebanjiran di musim hujan, harga anjlok ketika panen, mencekik saat paceklik, serta konversi lahan yang kian tak terbendung. Jika kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir, hama, dan penyakit dampaknya terhadap produksi pertanian, terutama padi, tidak bersifat permanen, dampak berkurangnya lahan pertanian karena konversi akan bersifat permanen terhadap turunnya produksi. Sekali lahan pertanian, terutama sawah, beralih fungsi, mustahil kembali lagi menjadi sawah. Kekhawatiran terhadap kelangkaan pupuk dan anjloknya harga beras selalu disuarakan dengan lantang oleh para wakil rakyat karena khawatir produksi pangan nasional merosot. Anehnya, soal konversi lahan nyaris tidak pernah mendapat perhatian. Jangankan ”suara lantang”, yang sayup-sayup pun hampir tak terdengar. Padahal, dampaknya jelas dan permanen terhadap produksi pangan nasional.
Pertanian Indonesia di tahun 2006 masih tetap menghadapi persoalan-persoalan klasik. Kelangkaan pupuk menjelang masa tanam, kekeringan di saat kemarau, kebanjiran di musim hujan, harga anjlok ketika panen, mencekik saat paceklik, serta konversi lahan yang kian tak terbendung. Jika kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir, hama, dan penyakit dampaknya terhadap produksi pertanian, terutama padi, tidak bersifat permanen, dampak berkurangnya lahan pertanian karena konversi akan bersifat permanen terhadap turunnya produksi. Sekali lahan pertanian, terutama sawah, beralih fungsi, mustahil kembali lagi menjadi sawah. Kekhawatiran terhadap kelangkaan pupuk dan anjloknya harga beras selalu disuarakan dengan lantang oleh para wakil rakyat karena khawatir produksi pangan nasional merosot. Anehnya, soal konversi lahan nyaris tidak pernah mendapat perhatian. Jangankan ”suara lantang”, yang sayup-sayup pun hampir tak terdengar. Padahal, dampaknya jelas dan permanen terhadap produksi pangan nasional.
Kebutuhan pangan terus naik dari tahun ke tahun. Tahun 2020 diperkirakan perlu 9,3 juta hektar sawah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. Saat ini luas sawah hanya 8,11 juta hektar, 45 persen di antaranya ada di Jawa dan Bali. Dari tahun ke tahun bukan perluasan yang terjadi, tetapi justru luas sawah kian menyusut (tabel: Neraca Lahan Sawah di Indonesia).
a.       Kerugian investasi
Konversi lahan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi pangan, tetapi juga hilangnya investasi untuk membangun irigasi dan prasarana lainnya. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto dari Pusat Studi Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), nilai investasi per hektar sawah tahun 2000 lebih dari Rp 25 juta dan tahun 2004 mencapai Rp 42 juta per hektar. Jika biaya pemeliharaan sistem irigasi dan pengembangan kelembagaan pendukung juga diperhitungkan, investasi untuk mengembangkan ekosistem sawah akan mencapai lima kali lipat dari angka tersebut. Belum lagi kerugian ekologis bagi sawah di sekitarnya akibat alih fungsi sebagian lahan, antara lain hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu mengurangi banjir. Kerugian itu masih bertambah dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi, dan sektor- sektor pedesaan lainnya. Sektor pertanian, terutama padi, merupakan sektor yang paling banyak menyediakan lapangan kerja.
Pendapatan kotor usaha tani padi sekitar Rp 5,2 juta per hektar per musim. Sementara biaya produksi per hektar per musim Rp 2,3 juta, sekitar 45 persen untuk ongkos tenaga kerja. Dengan alih fungsi, berarti petani kehilangan peluang pendapatan Rp 2,9 juta per hektar per musim, dan buruh tani kehilangan Rp 1,05 juta per musim.
Bagi pemilik lahan, mengonversi lahan pertanian untuk kepentingan nonpertanian saat ini memang lebih menguntungkan. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada di lokasi yang berkembang.
Riman (65), misalnya, rela mengubah kebunnya menjadi petak-petak kontrakan daripada tetap menanam palawija. Alasannya, dengan tiga petak rumah yang dibangun di atas tanah 150 meter persegi, setiap bulan dia memperoleh dari kontrakan rumah sekitar Rp 750.000.”Sementara kalau saya tanami mentimun, paling dapat sekarung, harganya cuma Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Itu pun masih harus menunggu 40 hari dan harus mikir beli urea, bibit, dan tenaga yang dikeluarkan,” ujar warga Kampung Pondok Serut, Desa Pakujaya-Serpong, Tangerang, yang lahannya terkepung tembok real estate itu. Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan menjadi ”bencana” karena mereka tidak serta-merta bisa beralih pekerjaan. Mereka terjebak pada kian sempitnya kesempatan kerja. Bakal muncul masalah sosial yang pelik.
Penelitian Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto memperkuat hal ini, yaitu jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif. Karena, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan dan industri, akses ke lokasi tersebut akan semakin baik. Ini mendorong naiknya permintaan lahan oleh investor lain, atau spekulan tanah, sehingga harganya semakin tinggi, membuat petani pemilik lahan lain menjual lahannya.
b.      Paradigma Baru Pertanian
Menurut Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Pascasarjana IPB MT Felix Sitorus, alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan nonpertanian terkait paradigma pertanahan penguasa. Di era kolonialisme Inggris (1811-1816), paradigmanya adalah tanah untuk negara, semua tanah milik raja atau pemerintah, petani wajib membayar pajak dua per lima dari hasil tanah garapannya. Masa tanam paksa (1830-1870), paradigmanya tetap tanah untuk negara, pemerintah menjadi pemilik tanah, dan kepala desa meminjam tanah itu, selanjutnya dipinjamkan kepada petani. Petani tidak membayar pajak, tetapi seperlima dari tanahnya harus ditanami komoditas tertentu yang hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Paradigma bergeser pada era kapitalisme kolonialisme (1870-1900), yaitu tanah untuk negara dan swasta, pemerintah memberikan hak erpacht 75 tahun kepada pemodal.
Di era pemerintahan Presiden Soekarno, paradigma diubah menjadi tanah untuk rakyat dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang diikuti landreform (1963-1965) soal penetapan luas tanah pertanian. ”Tetapi hanya sebentar, belum terimplementasi dengan baik. Pemerintahan Soeharto mengembalikan paradigma, yaitu tanah untuk negara dan swasta, dan itu berlangsung sampai kini, apalagi adanya Perpres No 36/2005,” kata Felix.
Krisis paradigma pertanahan yang berlangsung lama di Indonesia terlihat setidaknya dari banyaknya kasus sengketa tanah antara rakyat dan pemerintah atau pengusaha. Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2002 mencatat ada 1.920 kasus sengketa tanah, yang melibatkan 1.284.557 keluarga dengan luas lahan 10,512 juta hektar.

”Oleh karena itu, sebelum ditetapkan keputusan menyediakan lahan abadi pertanian seluas 15 juta hektar, harus jelas dulu itu untuk siapa, apakah tanah pertanian abadi untuk negara, swasta, atau petani. Selama paradigmanya masih tanah untuk negara dan swasta, konversi lahan masih tetap akan terjadi. Sementara bagi petani, bertani bukan sekadar untuk alasan ekonomi, tetapi bagian dari pandangan hidupnya,” ujar Felix. Setidaknya telah ada sembilan peraturan, mulai dari keputusan presiden, peraturan Menteri Dalam Negeri, peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, hingga surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengendalikan konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Semua itu tidak efektif menghentikan konversi. Persoalan ini tidak cukup hanya dihadapi dengan peraturan perundang-undangan karena masalahnya bukan hanya persoalan kebutuhan sektor lain akan lahan, tetapi menyangkut kesejahteraan petani, kepentingan keuangan pemerintah daerah, para pengejar rente, serta kebijakan dasar perekonomian yang ingin dibangun.
Diperlukan komitmen yang kuat untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian, yang diwujudkan pada visi baru dalam kebijakan yang dilaksanakan. Keberpihakan pada kesejahteraan petani, kepentingan menjaga ketahanan pangan nasional, serta menjaga kelestarian lingkungan harus dinyatakan dengan jelas.Menjadikan sektor pertanian sebagai lapangan usaha yang menarik dan bergengsi secara alami dapat mencegah terjadinya konversi lahan. Jika konversi terus terjadi tanpa terkendali, hal itu tidak saja melahirkan persoalan ketahanan pangan, tetapi juga lingkungan dan ketenagakerjaan.
Diambil dari : KOMPAS-Bisnis dan Keuangan- "Akutnya Konversi Lahan Pertanian"

Source : http://boskhamim.wordpress.com
Diposkan Oleh: Dita Febrian Sari (13692)

LIPI Belajar Pertanian Terpadu di Desa Gemilang


Jum’at hingga Sabtu (28-29/08), tim Pusat Penelitian Kependudukan (P2K) Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan kunjungan ke 2 Desa Gemilang  di Jawa Tengah dampingan Al Azhar Peduli Ummat (APU).
Saat LIPI Belajar ke Desa Gemilang dalam Forum Discussion Group
Tim yang dipimpin Drs. Dundin Zaenuddin, MA (Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI) dan Endang Soesilowati (Ketua Perencana, Monitoring dan Evaluasi – PME IPSK LIPI)  juga membawa serta anggota Tim Koordinasi Laboratorium Sosial IPSK LIPI dan Sekteratris Desa Ligarmukti, Bogor sebagai pejabat desa tempat desa dampingan LIPI.

Rumah Produksi Tahu APUSigit Iko Sugondo (Wakil Direktur APU sekaligus Ketua Forum Indonesia Gemilang) yang menyambut Tim LIPI didampingi Haji Basuno (Tim Penasehat Yayasan Klaten Peduli Ummat, YKPU), Zidni Abdurrahman (Manajer YKPU), Tim APU Cabang Jawa Tengah, Pengurus Saung Ilmu (kelembagaan lokal desa gemilang), kelompok-kelompok tani, dan swadaya masyarakat, pemerintah desa setempat, dan masyarakat desa.

Destinasi pertama, LIPI datang ke Desa Jemawan, Klaten untuk melihat dan belajar secara langsung konsep dan implementasi pertanian terpadu (integrated farming) yang pelaksanaan programnya APU bermitra dengan Yayasan Klaten Peduli Ummat (YKPU). Di Desa Jemawan, pendampingan desa gemilang ini telah memasuki tahun ketiga. Rumah pengolahan Tahu APU yang dikelola secara kelompok ini diintegrasikan dengan peternakan dan pertanian terpadu.
Limbah tahu yang dikeluarkan dimanfaatkan untuk penambah bahan pakan ternak kambing dan sapi yang memiliki kandungan gizi sangat baik bagi hewan ternak. Selain itu, limbah cair tahu juga dipakai untuk biogas yang dicampur dengan limbah/kotoran ternak sebagai pemanas pengolahan kedelai. Kotoran ternak sapi dan kambing secara mandiri diolah dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian di desa Jemawan dan sekitarnya.

Foto Bersama LIPI dan APU di Griya Iqro
Saat ini Jemawan juga sudah mengembangkan peternakan domba komunal yang dikelola oleh kelembagaan lokal Griya Iqro secara berkelompok. Dari 30 ekor domba yang digulirkan, belum genap 1 tahun, kini kambing yang dimiliki kelompok mencapai ratusan ekor dengan pola penggemukan dan pengembangbiakan. Sebanyak 40 keluarga sebagai penerima manfaat kandang komunal ini dan seiring dengan jumlah asset yang terus meningkat, guliran program ke keluarga lainnya akan terus bertambah dan berkelanjutan.
Selain melakukan studi pertanian terpadu, Tim LIPI belajar bagaimana membentuk, mengelola dan mengoptimalkan kelembagaan lokal untuk membangun keberdayaan desa dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial yang dimiliki desa. Saat ini, Laboratorium Sosial (Labsos) yang dimiliki dan dibina oleh LIPI belum berjalan dengan baik.
Salah satu faktor utamanya adalah belum terbentuknya kelembagaan lokal yang berfungsi sebagai pusat interaksi masyarakat, pusat pengetahuan dan keterampilan masyarakat didampingi pendamping yang stay 24 jam sebagaimana yang dilakukan oleh APU di desa-desa gemilang seluruh Indonesia. Sharing yang dikemas dalam Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung sederhana tapi penuh interaktif, produktif dan kekeluargaan dilakukan di Griya Iqro’ Desa Jemawan siang hingga malam.
Keesokannya, LIPI dan APU bergeser ke desa gemilang lainnya, yaitu Lingkungan Baran dan Mundu Kelurahan Puloharjo, Kecamatan Eromoko, Wonogiri yang disambut langsung oleh Lurah dan pejabat desa lainnya sebagai mitra program APU. LIPI menguatkan study-nya terkait kelembagaan lokal di Saung Ilmu bersama stakeholders program yaitu pendamping masyarakat, pengurus Saung Ilmu, kelompok-kelompok swadaya masyarakat, pejabat kelurahan dan jajarannya serta masyarakat Baran dan Mundu.
Di Baran dan Mundu, LIPI belajar tentang kemandirian masyarakat yang telah terbangun melalui pendampingan dan kuatnya kelembagaan lokal yang dibentuk. Meskipun agama dan kepercayaan masyarakatnya heterogen, namun kerukunan antar umat beragama dan keguyuban terjalin baik dan kuat.  Saat ini, Baran dan Mundu mampu mandiri pangan dari komoditi pertanian dan peternakan yang digarap oleh masyarakat.
Rumah Rabuk Tempat Pengolahan Pupuk
Masyarakat juga memiliki manajemen penyimpanan hasil pertanian yang baik untuk menjaga ketersediaan pangan yang baik.  Melalui Rumah Rabuk yang dikelola secara swadaya masyarakat, petanipun telah mampu mandiri pupuk, tidak lagi bergantung pupuk kimia dari pemerintah yang masih langka dan mahal. Pupuk organik padat yang diproduksi masyarakat di Rumah Rabuk dengan memanfaatkan kotoran hewan dan limbah pertanian mampu men-suplay kebutuhan pupuk para petani di Baran & Mundu dan sekitarnya. Bahkan menjadi salah satu usaha bersama masyarakat melalui Umbaran (Usaha Masyarakat Mundu Baran).
Dari sudut yang lain, Tim LIPI bersama pejabat desa Ligarmukti menyempatkan diri untuk berkeliling dan melihat lingkungan hijau asri di pekarangan masyarakat yang ditanami dengan beraneka ragam sayuran untuk memenuhi kebutuhan  gizi keluarga.  Dan yang menambah surprise Tim LIPI (karena belum melihat sebelumnya) adalah ketika menyaksikan ibu-ibu warga Baran dan Mundu berbondong-bondong ke Saung Ilmu sambil membawa aneka rupa sayuran dan hasil bumi mereka untuk ditabungkan.
Antrian Ibu-ibu Anggota Tabungan Gemah Ripah
Dengan sabar dalam antrian, satu persatu ibu-ibu memegang buku tabungan menyetorkan 0,5 Kg cabe, 7 ikat kecipir, 10 buah kelapa, 4 Kg jagung kering, dan sayuran lainnya kepada pengelola Tabungan Gemah Ripah dibawah koordinasi Saung Ilmu. Tabungan Gemah Ripah adalah simpanan/tabungan masyarakat desa gemilang dalam bentuk live stock sayuran dan hasil bumi lainnya yang dikelola secara berjamaah yang rupiah hasil penjualannya menjadi tabungan masyarakat penambah penghasilan keluarga.

Foto Bersama di Depan Saung Ilmu Baran Mundu
“Hanya ada di desa gemilang, pengejawantahan dan wujud riil dari hasil studi dan penelitian-penelitian  yang kami lakukan”, ungkap Drs. Dundin Zaenuddin, MA. “Terima kasih kawan-kawan APU, dan mohon izin kami akan sebarkan virus-virus pemberdayaan dan kemandirian masyarakat ini”, pungkasnya.
Sigit Iko Sugondo mewakili tim APU dan Forum Indonesia Gemilang juga mengucapkan terima kasih atas apresiasi ini. “Beginilah adanya desa-desa gemilang dampingan kami, tanpa direka-reka. Semoga banyak ilmu yang didapat dan menginspirasi”, ujar Sigit. “Dan, ini baru 2 desa. Masih ada puluhan desa-desa gemilang lainnya di 10 provinsi yang memiliki keunikan dan inovasi-inovasi pemberdayaan yang lain”, tutup Sigit Iko Sugondo.

Sumber:http://alazharpeduli.com/web/lipi-belajar-pertanian-terpadu-di-desa-gemilang/
Diposkan Oleh: Ni luh Tika Mulyantini Dewi (13730)